08 April 2013

Merasa Cukup

Dulu kala SD, pulang dan pergi biasa dengan jalan kaki. Rasanya senang sekali. Bareng teman – teman sebaya penuh riang dan canda. Bangga, dunia seakan sama di sana – sini. Menginjak SMP, saya masih setia dengan berjalan kaki. Hanya jarak kian bertambah. Sejauh  4 km saya lahap sekali jalan. Terkadang pengin rasanya punya sepeda seperti teman – teman lain yang bisa pulang – pergi sekolah dengan bersepeda. Saat SMA lain lagi, banyak teman yang pulang – pergi sekolah dengan sepeda motor.
Sementara saya tetap setia dengan langkah kedua kaki lincah ini. Muncul bayangan betapa indahnya bisa bersekolah dengan naik motor. Di samping keren, juga akan mendapat perhatian dan pemujaan dari khalayak. Termasuk lirikan dari lawan jenis. Siapa yang gak pengin? Memasuki dunia kuliah pun serupa. Tatkala diri ini masih seperti dulu, datang mahasiswa lain yang kuliah dengan roda empatnya. Bahkan sampai di dunia kerja pun tak jauh berbeda. Ketika diri mulai menjinjing kaki di pedal sepeda motor, yang lain sudah memanjakan kaki, melaju di sebuah mobil mewah atau deru motor gede barunya.

Begitulah kehidupan bertutur, selalu ada godaan yang mengelilingi manusia pada semua tingkatan, walau dengan varian yang berbeda. Orang selalu bilang, di atas langit ada langit. Tak ada habisnya. Yang miskin, yang menengah dan yang kaya, yang nganggur maupun yang kerja tak terkecuali. Tak ada yang kebal godaan. Pedagang, pengusaha, pegawai, pejabat, petani, tentara, supir, penekun spiritual sampai dengan tukang sapu, tidak sedikit kepalanya yang diisi oleh gambar-gambar hidup agar cepat kaya. Yang jelas, pilihan menjadi kaya tentu sebuah pilihan yang bisa dimengerti. Terutama dengan kaya manusia berpikir bisa melakukan lebih banyak hal. Sebaliknya, emoh menjadi miskin. Sebab miskin identik dengan penderitaan, kekurangan dan ketergantungan. Soal jalur mana untuk menjadi kaya yang akan ditempuh, pilihan yang tersedia juga amat melimpah. Dari mulai berdagang, jualan asuransi, ikut MLM, memimpin perusahaan, jadi pengusaha atau karyawan, sampai dengan jadi pejabat tinggi.


Itulah kesenangan hidup di dunia, sebagaimana Allah pesankan dalam KitabNya; “Dijadikan indah pada pandangan manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga). “ (QS Ali Imron : 14). Gelombang pikiran – pikiran seperti itu akan selalu datang mengejar – ngejar manusia setiap saat. Di sisi lain, kesenangan – kesenangan itu selalu hadir menggelayut di bentang samudra angan, menebar pesonanya kepada setiap insan. Laksana hipnotis yang akan terus menyihir manusia untuk masuk ke dalamnya. Bahkan tak jarang jalan - jalan pintas menjadi pilihannya. Rumusnya; pengin instant: serba cepat gak mau lambat, pengin sesegera mungkin gak mau berlama - lama, pengin senang terus tak mau payah dan serba gampang gak mau sulit. Ya, kesenangan yang membujuk. Tak ada yang selamat, kecuali orang  - orang yang eling lan waspada.


Sampai kapan pun, manusia akan terus diombang-ambingkan ombak kehidupan yang bernama keinginan. Sayangnya, banyak yang kandas. Apa yang diinginkan, lain dengan apa yang didapatkan. Alih – alih berpuas diri, malah makin menggila dan lupa diri; senang dunia dan takut akan mati. Oleh karena itu, para penekun kehidupan sering mengingatkan dengan elegannya akan bahaya kehidupan seperti ini. Ada satu hal yang banyak dilupakan orang yaitu pentingnya memiliki rasa cukup.


Dalam bahasa lain, seorang bijak dari timur pernah menganjurkan sebuah jalan kehidupan yang penuh dengan kedamaian, dengan mengatakan: contentment is the greatest wealt - rasa cukup adalah kekayaan terbesar. Tentu agak unik kedengarannya. Asing di telinga. Terutama di zaman yang serba penuh dengan hiruk - pikuk pencarian keluar. Menyebut rasa cukup sebagai kekayaan manusia terbesar, tentu dikira mengada - ada dan bisa dituduh gila. Padahal Kanjeng Nabi Muhammad SAW sudah berabad – abad lalu mengingatkan pentingnya memiliki rasa cukup ini untuk menghadapi dahsyatnya hantaman gelombang samudera kehidupan dunia. Rasulullah SAW bersabda: “Ridlalah dengan apa yang Allah bagikan buatmu, kamu akan menjadi orang terkaya”. (Rowahu Imam Turmudzi 3/377/2407). Apapun jika diliputi dengan rasa cukup, akan tampak luar biasa.  Dalam riwayat lain, Rasulullah SAW bersabda:
“alqana`atu maalun laa yanfadu wa kanzun laa yafnaa”. Artinya: “Qana`ah itu adalah harta yang tak akan hilang dan pura (simpanan) yang tidak akan pernah lenyap.” (Hadis dirawikan oleh Thabrani dari Jabir).

Banyak orang yang mengartikan salah - kaprah maksud rasa cukup di sini. Ada yang mengira menganjurkan kemalasan, ada yang menuduh sebagai antikemajuan. Dan tentu saja tidak dilarang untuk berpikir seperti ini. Hanya, bagi setiap pejalan kehidupan yang sudah mencoba serta berjalan jauh di jalur-jalur "cukup", segera akan mengerti, memang merasa cukuplah kekayaan manusia yang terbesar. Bukan merasa cukup kemudian berhenti berusaha dan bekerja. Sekali lagi bukan. Terutama karena hidup serta alam memang berputar melalui hukum-hukum kerja. Sekaligus memberikan pilihan mengagumkan, bekerja dan lakukan tugas masing-masing sebaik-baiknya, namun terimalah hasilnya dengan rasa cukup. Rasa cukup tak lain adalah perwujudan dari ridha sebagaimana hadits di atas.


Dan ada yang berbeda jauh di dalam sini, ketika tugas dan kerja keras sudah dipeluk dengan perasaan cukup. Tugasnya berjalan, kerja kerasnya juga berputar. Namun rasa syukurnya mengagumkan. Sekaligus membukakan pintu bagi perjalanan kehidupan yang penuh kemesraan. Dalam terang cahaya pemahaman seperti ini, rupanya merasa cukup jauh dari lebih sekadar memaksa diri agar damai. Awalnya, apapun memang diikuti keterpaksaan. Namun begitu merasa cukup menjadi sebuah kebiasaan, menjadi tabiat, terpatri, manusia seperti terlempar dengan nyaman ke dalam hening gelombang samudra kehidupan.

Boleh  miskin, tetapi dengan memiliki rasa cukup yang berlimpah akan merasa syukur yang pol menjadi orang miskin. Istiqomah dengan jalan hidupnya dan bahagia sepanjang waktu. Kemiskinan bukan suatu beban, melainkan pilihan dari Yang Esa. Persis seperti apa yang dikatakan oleh sahabat Abu Darda ra., “Para pemilik harta makan dan kami juga makan, mereka minum dan kami juga minum, mereka berpakaian kami juga berpakaian, mereka naik kendaraan dan kami pun naik kendaraan. Mereka memiliki kelebihan harta yang mereka lihat dan dilihat juga oleh selain mereka, lalu mereka menemui hisab atas harta itu sedang kita terbebas darinya.” (Al-Qana’ah, mafhumuha, manafi’uha, ath-thariq ilaiha, hal 24-30, Ibrahim bin Muhammad al-Haqiil). Yang hidup menengah lagi pas – pasan pun demikian. Jika rasa cukup telah melingkupi, yang ada hanya syukur dan syukur menjalani kehidupan ini dengan riang - gembira. Ibadah mempeng, tirakat banter dan bekerja keras lagi dengan sungguh – sungguh. Rasulullah SAW bersabda; ”Sungguh beruntung (bahagia) orang yang ditunjukkan (diberi hidayah) kepada islam dan diberi rizqi yang pas-pasan dan menerima dengan hal tersebut”. (Rowahu Imam Muslim 2/730/1045; Tirmidzi 4/6/2452; Ibnu Majah 2/13/16/4138).


Adapun yang kaya, jika telah memiliki rasa cukup yang dalam, tak akan terpengaruh dengan kekayaannya. Rasa cukup menyetirnya untuk mengatur kekayaan di jalan – jalan kehidupan ini sesuai aturan dan petunjukNya. Tidak pelit, tidak boros, suka sedekah dan infaq fi sabilillah. Semua kewajiban dilaksanakan dan semua hak – haknya dipenuhi. Sampai – sampai orang pun iri melihatnya. Dari ‘Abdullah bin Mas’ud ra., ia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda,
“Tidak boleh hasad kecuali pada dua orang, yaitu orang yang Allah anugerahkan padanya harta lalu ia infakkan pada jalan kebaikan dan orang yang Allah beri karunia ilmu (Al Qur’an dan As Sunnah), ia menunaikan dan mengajarkannya.” (Rowahu HR. Bukhari no. 73 dan Muslim no. 816).

Itulah rasa cukup, kekayaan yang mengagumkan. Dengan rasa cukup yang melimpah dalam hidup yang sebagaimana adanya (bukan yang seharusnya) kita bisa menemukan kehidupan berguna sekaligus pelayanan bermakna buat pihak lain. Keridhaan akan meraja di sini. Memang susah memulainya, apalagi memilikinya. Namun tak perlu ragu, setidaknya kita bisa mulai dengan doa sebagaimana yang Nabi SAW lantunkan; “Ya Allah berikan aku sikap qana’ah terhadap apa yang Engkau rizkikan kepadaku, berkahilah pemberian itu dan gantilah segala yang luput (hilang) dariku dengan yang lebih baik.” (HR al-Hakim, beliau menshahihkannya, dan disetujui oleh adz-Dzahabi). Mudah-mudahan kita bisa hidup berkelimpahan rasa cukup, diiringi keridhaan yang dalam sehingga hidup bergelimang kesyukuran, berjalan istiqomah di jalur kebenaran dan mati husnul khotimah. Amin.


SAPMB AJKH

salam, pf   

http://ldii.or.id/in/n/k/1112-merasa-cukup.html